Kamis, 11 November 2010

Menyikapi musibah

Menyikapi Musibah
Oleh: KH. A. Mustofa
Bisri
Karena bangsa ini
berketuhanan Yang
Maha Esa, maka ketika
musibah-musibah
beruntun menimpa
negeri ini, banyak
orang yang bertanya-
tanya. Cobaankah ini,
tegurankah,atau azab
dari Tuhan? Ataukah ini
hanya merupakan
gejala alam yang biasa
saja?
Lalu seperti biasa
pendapat-pendapat
pun dikemukakan
dengan rata-rata
meyakinkan.
Pendapat-pendapat itu
tentu saja sesuai
dengan sikap dan daya
pikir serta keyakinan
masing-masing.
Mereka yang biasa
berpikir positif dan
berhusnudzan, akan
mengatakan bahwa
musibah-musibah ini
merupakan cobaan
atau ujian dari Tuhan.
Allah berfirman:
"Ahasibannaasu an
yutrakuu an yaquuluu
aamannaa wahum laa
yuftanuun. Walaqad
fatannaa l-ladziina min
qablihim
falaya'lamanna l-
ladziina shadaquu
walaya'lamannaa l-
kaadzibiin." (Q. 29: 2-3).
"Apakah orang
mengira akan dibiarkan
cukup menyatakan
kami beriman dan
mereka tidak akan
diuji? Sungguh Kami
telah menguji orang-
orang sebelum mereka
dan mengetahui orang-
orang yang benar dan
mengetahui orang-
orang yang dusta."
Di samping itu, ada
hadits : "Man
yuridillaahu khairan
yushib minhu". Siapa
yang dikehendaki Allah
baik, Ia akan
mencobanya. Jadi,
musibah-musibah ini
merupakan alamat baik
bagi bangsa kita. Ibarat
murid akan naik kelas,
akan diuji dahulu.
Dengan husnudzan
seperti ini, musibah-
musibah yang beruntun
justru melahirkan
harapan-harapan akan
datangnya kebaikan-
kebaikan. Penyikapan
yang disarankan
pendapat ini ialah
bersabar dan
memperbaiki kinerja
amal serta
mendekatkan diri
kepadaNya.
Ada yang berpendapat
musibah-musibah ini
merupakan teguran
dari Allah. Bahkan
teguran keras.
Asumsinya: bangsa ini
sudah keterlaluan
melanggar angger-
angger-Nya.
Kemanusiaan yang
dimuliakan Allah disia-
siakan. Hukum yang
menjadi penertib
kehidupan tidak
dihormati.
Keserakahan
merajalela; hingga
merampas hak-hak
orang, melecehkan
aturan, dan merusak
alam, seolah-olah
sudah menjadi budaya.
Sementara agama yang
seharusnya menjadi
wasilah meraih ridha
Allah, hanya dianggap
sebagai semacam
organisasi sosial-politik
yang tidak jarang justru
merusak kedamaian
pergaulan hidup.
"Zhaharal fasaadu
filbarri wal bahri bimaa
kasabat aidinnaasi
liyudziiqahum ba'dhal-
ladzii 'amiluu la'allahum
yarji'uun." (Q.30:41)
Telah tampak
kerusakan di daratan
dan di lautan akibat
ulah tangan-tangan
manusia, supaya Allah
mencicipkan kepada
mereka sebagian hasil
perbuatan mereka,
agar mereka kembali
ke jalan yang benar."
Maka karenanya, kita
mesti melakukan
muhasabah, mawas
diri, memperbaiki
kesalahan-kesalahan,
dan meluruskan
perilaku. Kembali ke
jalan yang benar.
Mereka yang
menganggap musibah-
musibah itu merupakan
azab, boleh jadi
lantaran melihat
kenyataan kaitannya
dengan ayat dalam
Quran, "Qul Hual
Qaadiru 'alaa an
yab'atsa 'alaikum
adzaaban min fauqikum
au min tahti arjulikum
au yalbisakum
syiyaa-'an wayudziiqa
ba'dhakum ba'sa
ba'dhin; unzhur kaifa
nusharriful ayaati
la'allahum
yafqahuun." (Q.6: 65).
"Katakan, Ialah Tuhan
yang kuasa mengirim
atas kalian azab dari
atas kalian, atau dari
bawah kaki-kaki kalian,
atau mengacaukan
kalian dalam
kelompok-kelompok
fanatik dan
mencicipkan keganasan
sebagian dari kalian
kepada sebagian yang
lain. Lihatlah bagaimana
Kami mendatangkan
silih berganti tanda-
tanda kekuasaan Kami,
agar mereka
mengerti."
Kita menyaksikan apa
yang menimpa bangsa
ini, seolah menjadi
tafsir dari ayat
tersebut. Lihatlah. Dari
atas: hujan deras yang
mengakibatkan banjir,
topan atau angin puting
beliung, dsb. Dari
bawah: tsunami, gempa
bumi, tanah longsor,
lumpur panas, dsb. Dan
kehidupan sosial
kemasyarakatan kita
kacau oleh adanya
kelompok-kelompok
fanatik yang saling
memperlihatkan
keganasan masing-
masing kepada yang
lain.
Kalau pun kita
menggunakan tafsir Ibn
Abbas ra (bahwa azab
dari atas, artinya yang
diakibatkan oleh orang-
orang atasan alias
pemimpin dan dari
bawah artinya yang
diakibatkan oleh orang-
orang bawahan alias
rakyat), rasanya pun
cocok dengan kondisi
kita.
Bila musibah-musibah
ini azab, semoga tidak,
maka yang harus
dilakukan terutama
oleh umat Islam,
adalah bersalawat -
mencoba
'menghadirkan'
Rasulullah SAW- dan
beristighfar -memohon
ampun kepada Allah.
Kenapa? Karena
menurut Quran yang
dapat menolak azab
Allah hanyalah
kehadiran Rasulullah
SAW dan istighfar ( Q.
8:33). Menurut mereka
yang menganggap
musibah-musibah itu
merupakan gejala alam
biasa, biasanya akan
berbicara soal upaya
peningkatan
manajemen
penanganan bencana
dan pendidikan sadar
bencana kepada
masyarakat.
Waba'du; terlepas dari
pendapat-pendapat
orang tentang
musibah-musibah
beruntun yang
menimpa negeri ini,
sebagai pemilik negeri
ini, kita tentu prihatin
dan ingin agar
musibah-musibah itu
berhenti. Kita hargai
semua pihak yang -
sesuai dengan
pendapat dan
keyakinannya-
melakukan upaya-
upaya untuk itu. Mulai
dari yang melakukan
perbaikan diri;
perbaikan kinerja;
muhasabah; tobat,;
meningkatkan
managemen
penanganan bencana;
hingga 'sekadar'
bersabar dan berdoa.
Karena pihak-pihak itu
berarti memiliki rasa
tahu diri, tawaduk,
memikirkan dan
berbuat sesuatu untuk
negerinya.
Ya, kita menghargai
pihak-pihak itu
katimbang mereka
yang lagi-lagi hanya
pamer kepintaran
dengan menyalahkan
pihak-pihak yang
berupaya sesuai
keyakinannya itu. Atau
mereka yang sudah
terbiasa dengan
mencari kambing
hitam, lalu mencari
pihak-pihak yang
dianggap mereka
pembawa sial,
sebagaimana orang-
orangnya Firaun yang
menganggap Nabi
Musa sebagai
pembawa sial.
Gus Mus

Tidak ada komentar: