Jumat, 12 November 2010

Beranda

Photobucket
Selamat datang kami ucapkan kepada para pengunjung yang telah menyempatkan waktunya untuk menengok blog yang sangat sederhana ini semoga saran dan kritik kalian semua bisa meningkatkan kreatifitas saya sebelum dan sesudahnya kami ucapkan banyak terimakasih

menggali potensi dengan istighfar

[IMG]http://i991.photobucket.com/albums/af31/khabibie/Akyujpg_thumb.jpg[/IMG]
Cukupkah kita
beristigfar lantas dosa-
dosa kita berguguran?
Belum tentu. Istigfar
bukan semata-mata
ungkapan permohonan
ampun seperti
’ astahgfirullah hal
azhim’. Bukan pula
hanya mengalunkan
zikir-zikir ampunan di
dalam hati. Namun,
istigfar harus dipadukan
dengan kesadaran
untuk berubah.
Lalu, kesadaran seperti
apakah yang
dibutuhkan? Sederhana
sekali. Kesadaran akan
kesalahan-kesalahan
pada masa lalu, dan
mengikrarkan diri
untuk tidak akan
mengulangi kesalah-
kesalahan tersebut
pada masa kini dan
masa akan datang.
Allah menegaskan hal
ini dengan ungkapan
taubat sesungguhnya.
(QS At-Tahrim : 8).
Kesadaran untuk tidak
mau mengulangi dosa-
dosa pada masa lalu
itulah yang sebenarnya
mengantarkan kita
pada wujud takwa.
Beristigfarlah dan ikuti
setiap istigfar tersebut
dengan kesadaran. Ya,
kesadaran bahwa kita
telah salah dan tak
akan mengulangi
kesalahan tersebut.
Melaksanakan segala
perintah Allah, dan
mengikrarkan diri
untuk menjauhi
kesalahan-kesalahan
dan dosa yang dilarang
Allah.
Memang, sekuat apa
pun kita menghindari
dosa, kita tak akan
pernah mampu
mengelak dari
kesalahan dan dosa.
Oleh karena itu, Allah
sediakan fasilitas
istigfar sebagai wasilah
ampunan dari-Nya
untuk para hamba-Nya
yang ingin
memperbaiki diri.
Memadukan istigfar
dan kesadaran,
membuat kita
bertambah mantap
menjalani hidup.
Semakin hari, potensi-
potensi kebaikan kita
tumbuh berkembang,
karena kita selalu
belajar dari kesalahan,
dan tak mau
mengulanginya.
ALLAHU A'LAM

Kamis, 11 November 2010

Menyikapi musibah

Menyikapi Musibah
Oleh: KH. A. Mustofa
Bisri
Karena bangsa ini
berketuhanan Yang
Maha Esa, maka ketika
musibah-musibah
beruntun menimpa
negeri ini, banyak
orang yang bertanya-
tanya. Cobaankah ini,
tegurankah,atau azab
dari Tuhan? Ataukah ini
hanya merupakan
gejala alam yang biasa
saja?
Lalu seperti biasa
pendapat-pendapat
pun dikemukakan
dengan rata-rata
meyakinkan.
Pendapat-pendapat itu
tentu saja sesuai
dengan sikap dan daya
pikir serta keyakinan
masing-masing.
Mereka yang biasa
berpikir positif dan
berhusnudzan, akan
mengatakan bahwa
musibah-musibah ini
merupakan cobaan
atau ujian dari Tuhan.
Allah berfirman:
"Ahasibannaasu an
yutrakuu an yaquuluu
aamannaa wahum laa
yuftanuun. Walaqad
fatannaa l-ladziina min
qablihim
falaya'lamanna l-
ladziina shadaquu
walaya'lamannaa l-
kaadzibiin." (Q. 29: 2-3).
"Apakah orang
mengira akan dibiarkan
cukup menyatakan
kami beriman dan
mereka tidak akan
diuji? Sungguh Kami
telah menguji orang-
orang sebelum mereka
dan mengetahui orang-
orang yang benar dan
mengetahui orang-
orang yang dusta."
Di samping itu, ada
hadits : "Man
yuridillaahu khairan
yushib minhu". Siapa
yang dikehendaki Allah
baik, Ia akan
mencobanya. Jadi,
musibah-musibah ini
merupakan alamat baik
bagi bangsa kita. Ibarat
murid akan naik kelas,
akan diuji dahulu.
Dengan husnudzan
seperti ini, musibah-
musibah yang beruntun
justru melahirkan
harapan-harapan akan
datangnya kebaikan-
kebaikan. Penyikapan
yang disarankan
pendapat ini ialah
bersabar dan
memperbaiki kinerja
amal serta
mendekatkan diri
kepadaNya.
Ada yang berpendapat
musibah-musibah ini
merupakan teguran
dari Allah. Bahkan
teguran keras.
Asumsinya: bangsa ini
sudah keterlaluan
melanggar angger-
angger-Nya.
Kemanusiaan yang
dimuliakan Allah disia-
siakan. Hukum yang
menjadi penertib
kehidupan tidak
dihormati.
Keserakahan
merajalela; hingga
merampas hak-hak
orang, melecehkan
aturan, dan merusak
alam, seolah-olah
sudah menjadi budaya.
Sementara agama yang
seharusnya menjadi
wasilah meraih ridha
Allah, hanya dianggap
sebagai semacam
organisasi sosial-politik
yang tidak jarang justru
merusak kedamaian
pergaulan hidup.
"Zhaharal fasaadu
filbarri wal bahri bimaa
kasabat aidinnaasi
liyudziiqahum ba'dhal-
ladzii 'amiluu la'allahum
yarji'uun." (Q.30:41)
Telah tampak
kerusakan di daratan
dan di lautan akibat
ulah tangan-tangan
manusia, supaya Allah
mencicipkan kepada
mereka sebagian hasil
perbuatan mereka,
agar mereka kembali
ke jalan yang benar."
Maka karenanya, kita
mesti melakukan
muhasabah, mawas
diri, memperbaiki
kesalahan-kesalahan,
dan meluruskan
perilaku. Kembali ke
jalan yang benar.
Mereka yang
menganggap musibah-
musibah itu merupakan
azab, boleh jadi
lantaran melihat
kenyataan kaitannya
dengan ayat dalam
Quran, "Qul Hual
Qaadiru 'alaa an
yab'atsa 'alaikum
adzaaban min fauqikum
au min tahti arjulikum
au yalbisakum
syiyaa-'an wayudziiqa
ba'dhakum ba'sa
ba'dhin; unzhur kaifa
nusharriful ayaati
la'allahum
yafqahuun." (Q.6: 65).
"Katakan, Ialah Tuhan
yang kuasa mengirim
atas kalian azab dari
atas kalian, atau dari
bawah kaki-kaki kalian,
atau mengacaukan
kalian dalam
kelompok-kelompok
fanatik dan
mencicipkan keganasan
sebagian dari kalian
kepada sebagian yang
lain. Lihatlah bagaimana
Kami mendatangkan
silih berganti tanda-
tanda kekuasaan Kami,
agar mereka
mengerti."
Kita menyaksikan apa
yang menimpa bangsa
ini, seolah menjadi
tafsir dari ayat
tersebut. Lihatlah. Dari
atas: hujan deras yang
mengakibatkan banjir,
topan atau angin puting
beliung, dsb. Dari
bawah: tsunami, gempa
bumi, tanah longsor,
lumpur panas, dsb. Dan
kehidupan sosial
kemasyarakatan kita
kacau oleh adanya
kelompok-kelompok
fanatik yang saling
memperlihatkan
keganasan masing-
masing kepada yang
lain.
Kalau pun kita
menggunakan tafsir Ibn
Abbas ra (bahwa azab
dari atas, artinya yang
diakibatkan oleh orang-
orang atasan alias
pemimpin dan dari
bawah artinya yang
diakibatkan oleh orang-
orang bawahan alias
rakyat), rasanya pun
cocok dengan kondisi
kita.
Bila musibah-musibah
ini azab, semoga tidak,
maka yang harus
dilakukan terutama
oleh umat Islam,
adalah bersalawat -
mencoba
'menghadirkan'
Rasulullah SAW- dan
beristighfar -memohon
ampun kepada Allah.
Kenapa? Karena
menurut Quran yang
dapat menolak azab
Allah hanyalah
kehadiran Rasulullah
SAW dan istighfar ( Q.
8:33). Menurut mereka
yang menganggap
musibah-musibah itu
merupakan gejala alam
biasa, biasanya akan
berbicara soal upaya
peningkatan
manajemen
penanganan bencana
dan pendidikan sadar
bencana kepada
masyarakat.
Waba'du; terlepas dari
pendapat-pendapat
orang tentang
musibah-musibah
beruntun yang
menimpa negeri ini,
sebagai pemilik negeri
ini, kita tentu prihatin
dan ingin agar
musibah-musibah itu
berhenti. Kita hargai
semua pihak yang -
sesuai dengan
pendapat dan
keyakinannya-
melakukan upaya-
upaya untuk itu. Mulai
dari yang melakukan
perbaikan diri;
perbaikan kinerja;
muhasabah; tobat,;
meningkatkan
managemen
penanganan bencana;
hingga 'sekadar'
bersabar dan berdoa.
Karena pihak-pihak itu
berarti memiliki rasa
tahu diri, tawaduk,
memikirkan dan
berbuat sesuatu untuk
negerinya.
Ya, kita menghargai
pihak-pihak itu
katimbang mereka
yang lagi-lagi hanya
pamer kepintaran
dengan menyalahkan
pihak-pihak yang
berupaya sesuai
keyakinannya itu. Atau
mereka yang sudah
terbiasa dengan
mencari kambing
hitam, lalu mencari
pihak-pihak yang
dianggap mereka
pembawa sial,
sebagaimana orang-
orangnya Firaun yang
menganggap Nabi
Musa sebagai
pembawa sial.
Gus Mus

Berzikir

JANGAN
MENINGGALKAN ZIKIR
LANTARAN ENGKAU
BELUM SELALU INGAT
KEPADA ALLAH S.W.T
KETIKA BERZIKIR,
SEBAB KELALAIAN
KAMU TERHADAP
ALLAH S.W.T KETIKA
TIDAK BERZIKIR LEBIH
BAHAYA DARIPADA
KELALAIAN KAMU
TERHADAP ALLAH
S.W.T KETIKA KAMU
BERZIKIR. SEMOGA
ALLAH S.W.T
MENAIKKAN DARJAT
KAMU DARIPADA
ZIKIR DENGAN
KELALAIAN KEPADA
ZIKIR YANG DISERTAI
INGAT KEPADA ALLAH
S.W.T, DAN MUDAH-
MUDAHAN ALLAH
S.W.T AKAN
MENGANGKAT KAMU
DARIPADA ZIKIR YANG
BESERTA KEHADIRAN
ALLAH S.W.T DI
DALAM HATI KAMU
KEPADA ZIKIR DI
MANA LENYAPNYA
SEGALA SESUATU
SELAIN ALLAH S.W.T.
HAL YANG DEMIKIAN
ITU TIDAKLAH SUKAR
BAGI ALLAH S.W.T.
Empat keadaan yang
berkaitan dengan zikir:
1: Tidak berzikir
langsung.
2: Berzikir dalam
keadaan hati tidak ingat
kepada Allah s.w.t.
3: Berzikir dengan
disertai rasa kehadiran
Allah s.w.t di dalam
hati.
4: Berzikir dalam
keadaan fana dari
makhluk, lenyap segala
sesuatu dari hati, hanya
Allah s.w.t sahaja yang
ada.
Bukanlah sukar bagi
Allah s.w.t untuk
mengubah suasana hati
hamba-Nya yang
berzikir dari suasana
yang kurang baik
kepada yang lebih baik
hingga mencapai yang
terbaik.
Kerohanian manusia
berada dalam
beberapa darjat, maka
suasana zikir juga
berbeza-beza,
mengikut darjat
rohaninya. Darjat yang
paling rendah adalah si
raghib yang telah tenat
dikuasai oleh syaitan
dan dunia. Cahaya api
syaitan dan
fatamorgana dunia
menutup hatinya
sehingga dia tidak
sedikit pun mengingati
Allah s.w.t. Seruan,
peringatan dan ayat-
ayat Allah s.w.t tidak
melekat pada hatinya.
Inilah golongan Islam
yang dijajah oleh sifat
munafik. Golongan ini
tidak berzikir langsung.
Golongan kedua
berzikir dengan lidah
tetapi hati tidak ikut
berzikir. Lidah
menyebut nama Allah
s.w.t, tetapi ingatan
tertuju kepada harta,
pekerjaan, perempuan,
hiburan dan lain-lain.
Inilah golongan orang
Islam yang awam.
Mereka dinasihatkan
supaya jangan
meninggalkan zikir
kerana dengan
meninggalkan zikir
mereka akan lebih
dihanyutkan oleh
kelalaian.. Tanpa zikir,
syaitan akan lebih
mudah memancarkan
gambar-gambar tipuan
kepada cermin hatinya
dan dunia akan lebih
kuat menutupinya. Zikir
pada peringkat ini
berperanan sebagai
‘ juru ingat’. Sebutan
lidah menjadi teman
yang mengingatkan
hati yang lalai. Lidah
dan hati berperanan
seperti dua orang yang
mempunyai minat yang
berbeza. Seorang
enggan mendengar
sebutan nama Allah
s.w.t, sementara yang
seorang lagi
memaksanya
mendengar dia
menyebut nama Allah
s.w.t. Sahabat yang
berzikir (lidah) mestilah
memaksa bersungguh-
sungguh agar
temannya (hati)
mendengar ucapannya.
Di sini terjadilah
peperangan di antara
tenaga zikir dengan
tenaga syaitan yang
disokong oleh tenaga
dunia yang cuba
menghalang tenaga
zikir dari memasuki
hati.
Golongan yang ke tiga
pula adalah mereka
yang tenaga zikirnya
sudah berjaya
memecahkan dinding
yang dibina oleh
syaitan dan dunia.
Ucapan zikir sudah
boleh masuk ke dalam
hati. Tenaga zikir
bertindak menyucikan
hati daripada karat-
karat yang melekat
padanya. Pada mulanya
ucapan zikir masuk ke
dalam hati sebagai
sebutan nama-nama
Allah s.w.t. Setelah
karat hati sudah hilang
maka sebutan nama-
nama Allah s.w.t akan
disertai oleh rasa
mesra yang
mengandungi
kelazatan. Pada
peringkat ini zikir tidak
lagi dibuat secara
paksa. Hati akan
berzikir tanpa
menggunakan lidah.
Sebutan nama-nama
Allah s.w.t
menghalakan hati
kepada Empunya
nama-nama, merasai
sifat-sifat-Nya
sebagaimana
dinamakan.
Golongan ke empat
ialah mereka yang
telah sepenuhnya
dikuasai oleh Haq atau
hal ketuhanan. Mereka
sudah keluar dari
sempadan alam
maujud dan masuk ke
dalam hal yang tidak
ada alam, yang ada
hanya Allah s.w.t.
Tubuh kasar mereka
masih berada di atas
muka bumi, bersama-
sama makhluk yang
lain. Tetapi,
kesedarannya terhadap
dirinya dan makhluk
sekaliannya sudah tidak
ada, maka kewujudan
sekalian yang maujud
tidak sedikit pun
mempengaruhi hatinya.
Mereka karam dalam
zikir dan yang
dizikirkan. Mereka yang
berada pada tahap ini
telah terlepas dari
ikatan manusiawi dan
seterusnya mencapai
penglihatan hakiki mata
hati, sebagaimana yang
telah dinyatakan ketika
membincang Hikmat
45.
Mereka yang
mempunyai
penglihatan hakiki mata
hati ada dua jenis. Jenis
pertama adalah yang
mempunyai nama dan
tabir penutup. Hijab
nama (asma ’) tidak
terangkat lalu dia
melihat di dalam hijab.
Dia melihat Allah s.w.t
pada apa yang
menghijabkannya.
Zikirnya ialah nama
yang padanya dia
melihat Allah s.w.t.
Jenis kedua pula ialah
yang berpisah dengan
nama dan hijab, lalu dia
melihat Allah s.w.t dan
merasakan ketenangan
dengan penglihatan itu.
Pada ketika itu tidak
sepatah pun ucapan
yang terucap olehnya
dan tidak sepatah pun
kalam yang terdengar
padanya. Dia melihat
nama itu tidak
mempunyai kekuatan
hukum apa pun selain-
Nya. Bila nama
dinafikan tibalah pada
wusul (sampai). Bila
tidak terlintas lagi
nama tibalah pada
ittisal (perhubungan).
Nama yang tidak lagi
terlintas disebabkan
kuatnya tarikan dari
yang dinamai. Makam
ini dinamakan makam
al-Buhut (kehairan-
hairanan), kerana dia
melihat Allah s.w.t
dalam kehairan-
hairanan, tiada ucapan
kecuali pandangan.
Inilah makam terakhir
di mana semua hati
terhenti di situ. Ia
adalah tingkatan
tertinggi tentang
kecintaan terhadap zat
Ilahiat.
Pada tahap ini Nur-Nya
memancar, menyinar,
menjulang naik ke
lubuk hati. Peringkat ini
sudah tiada zikir dan
tiada pula yang berzikir,
hanyalah memandang
bukan berzikir dan tiada
berbalik kembali
pandangannya. Inilah
hal yang dikatakan
faham dengan tiada
huraian
pemahamannya dan
mencapai dengan tiada
sesuatu pencapaiannya.
Insan di dalam hal ini
sudah tidak lagi
memohon fatwa, tidak
memohon perkenan,
tidak meminta
pertolongan dan
ucapan juga tiada.
Baginya setiap sesuatu
adalah ilmu dan setiap
ilmu adalah zikir. Inilah
hamba yang telah
benar-benar berjaya
menghimpun semua
makam dan martabat.
Dia sudah melihat
takdir-takdir dan
melihat bagaimana
Allah s.w.t menghalau
takdir demi takdir dan
melihat bagaimana
Allah s.w.t mengulangi
takdir-takdir itu dengan
berbagai-bagai cara
yang dikehendaki-Nya
kerana sesungguhnya
Allah s.w.t sahaja yang
memulakan penciptaan
dan Dia juga yang
mengulanginya.
Penglihatannya tidak
berbolak-balik lagi. Dia
melihat Allah s.w.t di
hadapan dan di
belakang apa yang
dilihatnya dan melihat
Allah s.w.t dalam
segala yang dilihatnya.
Apabila kerinduan
terhadap Allah s.w.t
telah menguasai hati
seseorang hingga
kepada tahap tiada
ucapan yang boleh
diucapkan maka
keadaan itu dikatakan
melihat Allah s.w.t
yang tiada sesuatu yang
menyamai-Nya,
sebagaimana firman-
Nya:
Tiada sesuatupun yang
sebanding dengan (Zat-
Nya, sifat-sifat-Nya,
dan pentadbiran)-Nya,
dan Dia jualah Yang
Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. ( Ayat
11 : Surah asy-Syura )

Berzikir

JANGAN
MENINGGALKAN ZIKIR
LANTARAN ENGKAU
BELUM SELALU INGAT
KEPADA ALLAH S.W.T
KETIKA BERZIKIR,
SEBAB KELALAIAN
KAMU TERHADAP
ALLAH S.W.T KETIKA
TIDAK BERZIKIR LEBIH
BAHAYA DARIPADA
KELALAIAN KAMU
TERHADAP ALLAH
S.W.T KETIKA KAMU
BERZIKIR. SEMOGA
ALLAH S.W.T
MENAIKKAN DARJAT
KAMU DARIPADA
ZIKIR DENGAN
KELALAIAN KEPADA
ZIKIR YANG DISERTAI
INGAT KEPADA ALLAH
S.W.T, DAN MUDAH-
MUDAHAN ALLAH
S.W.T AKAN
MENGANGKAT KAMU
DARIPADA ZIKIR YANG
BESERTA KEHADIRAN
ALLAH S.W.T DI
DALAM HATI KAMU
KEPADA ZIKIR DI
MANA LENYAPNYA
SEGALA SESUATU
SELAIN ALLAH S.W.T.
HAL YANG DEMIKIAN
ITU TIDAKLAH SUKAR
BAGI ALLAH S.W.T.
Empat keadaan yang
berkaitan dengan zikir:
1: Tidak berzikir
langsung.
2: Berzikir dalam
keadaan hati tidak ingat
kepada Allah s.w.t.
3: Berzikir dengan
disertai rasa kehadiran
Allah s.w.t di dalam
hati.
4: Berzikir dalam
keadaan fana dari
makhluk, lenyap segala
sesuatu dari hati, hanya
Allah s.w.t sahaja yang
ada.
Bukanlah sukar bagi
Allah s.w.t untuk
mengubah suasana hati
hamba-Nya yang
berzikir dari suasana
yang kurang baik
kepada yang lebih baik
hingga mencapai yang
terbaik.
Kerohanian manusia
berada dalam
beberapa darjat, maka
suasana zikir juga
berbeza-beza,
mengikut darjat
rohaninya. Darjat yang
paling rendah adalah si
raghib yang telah tenat
dikuasai oleh syaitan
dan dunia. Cahaya api
syaitan dan
fatamorgana dunia
menutup hatinya
sehingga dia tidak
sedikit pun mengingati
Allah s.w.t. Seruan,
peringatan dan ayat-
ayat Allah s.w.t tidak
melekat pada hatinya.
Inilah golongan Islam
yang dijajah oleh sifat
munafik. Golongan ini
tidak berzikir langsung.
Golongan kedua
berzikir dengan lidah
tetapi hati tidak ikut
berzikir. Lidah
menyebut nama Allah
s.w.t, tetapi ingatan
tertuju kepada harta,
pekerjaan, perempuan,
hiburan dan lain-lain.
Inilah golongan orang
Islam yang awam.
Mereka dinasihatkan
supaya jangan
meninggalkan zikir
kerana dengan
meninggalkan zikir
mereka akan lebih
dihanyutkan oleh
kelalaian.. Tanpa zikir,
syaitan akan lebih
mudah memancarkan
gambar-gambar tipuan
kepada cermin hatinya
dan dunia akan lebih
kuat menutupinya. Zikir
pada peringkat ini
berperanan sebagai
‘ juru ingat’. Sebutan
lidah menjadi teman
yang mengingatkan
hati yang lalai. Lidah
dan hati berperanan
seperti dua orang yang
mempunyai minat yang
berbeza. Seorang
enggan mendengar
sebutan nama Allah
s.w.t, sementara yang
seorang lagi
memaksanya
mendengar dia
menyebut nama Allah
s.w.t. Sahabat yang
berzikir (lidah) mestilah
memaksa bersungguh-
sungguh agar
temannya (hati)
mendengar ucapannya.
Di sini terjadilah
peperangan di antara
tenaga zikir dengan
tenaga syaitan yang
disokong oleh tenaga
dunia yang cuba
menghalang tenaga
zikir dari memasuki
hati.
Golongan yang ke tiga
pula adalah mereka
yang tenaga zikirnya
sudah berjaya
memecahkan dinding
yang dibina oleh
syaitan dan dunia.
Ucapan zikir sudah
boleh masuk ke dalam
hati. Tenaga zikir
bertindak menyucikan
hati daripada karat-
karat yang melekat
padanya. Pada mulanya
ucapan zikir masuk ke
dalam hati sebagai
sebutan nama-nama
Allah s.w.t. Setelah
karat hati sudah hilang
maka sebutan nama-
nama Allah s.w.t akan
disertai oleh rasa
mesra yang
mengandungi
kelazatan. Pada
peringkat ini zikir tidak
lagi dibuat secara
paksa. Hati akan
berzikir tanpa
menggunakan lidah.
Sebutan nama-nama
Allah s.w.t
menghalakan hati
kepada Empunya
nama-nama, merasai
sifat-sifat-Nya
sebagaimana
dinamakan.
Golongan ke empat
ialah mereka yang
telah sepenuhnya
dikuasai oleh Haq atau
hal ketuhanan. Mereka
sudah keluar dari
sempadan alam
maujud dan masuk ke
dalam hal yang tidak
ada alam, yang ada
hanya Allah s.w.t.
Tubuh kasar mereka
masih berada di atas
muka bumi, bersama-
sama makhluk yang
lain. Tetapi,
kesedarannya terhadap
dirinya dan makhluk
sekaliannya sudah tidak
ada, maka kewujudan
sekalian yang maujud
tidak sedikit pun
mempengaruhi hatinya.
Mereka karam dalam
zikir dan yang
dizikirkan. Mereka yang
berada pada tahap ini
telah terlepas dari
ikatan manusiawi dan
seterusnya mencapai
penglihatan hakiki mata
hati, sebagaimana yang
telah dinyatakan ketika
membincang Hikmat
45.
Mereka yang
mempunyai
penglihatan hakiki mata
hati ada dua jenis. Jenis
pertama adalah yang
mempunyai nama dan
tabir penutup. Hijab
nama (asma ’) tidak
terangkat lalu dia
melihat di dalam hijab.
Dia melihat Allah s.w.t
pada apa yang
menghijabkannya.
Zikirnya ialah nama
yang padanya dia
melihat Allah s.w.t.
Jenis kedua pula ialah
yang berpisah dengan
nama dan hijab, lalu dia
melihat Allah s.w.t dan
merasakan ketenangan
dengan penglihatan itu.
Pada ketika itu tidak
sepatah pun ucapan
yang terucap olehnya
dan tidak sepatah pun
kalam yang terdengar
padanya. Dia melihat
nama itu tidak
mempunyai kekuatan
hukum apa pun selain-
Nya. Bila nama
dinafikan tibalah pada
wusul (sampai). Bila
tidak terlintas lagi
nama tibalah pada
ittisal (perhubungan).
Nama yang tidak lagi
terlintas disebabkan
kuatnya tarikan dari
yang dinamai. Makam
ini dinamakan makam
al-Buhut (kehairan-
hairanan), kerana dia
melihat Allah s.w.t
dalam kehairan-
hairanan, tiada ucapan
kecuali pandangan.
Inilah makam terakhir
di mana semua hati
terhenti di situ. Ia
adalah tingkatan
tertinggi tentang
kecintaan terhadap zat
Ilahiat.
Pada tahap ini Nur-Nya
memancar, menyinar,
menjulang naik ke
lubuk hati. Peringkat ini
sudah tiada zikir dan
tiada pula yang berzikir,
hanyalah memandang
bukan berzikir dan tiada
berbalik kembali
pandangannya. Inilah
hal yang dikatakan
faham dengan tiada
huraian
pemahamannya dan
mencapai dengan tiada
sesuatu pencapaiannya.
Insan di dalam hal ini
sudah tidak lagi
memohon fatwa, tidak
memohon perkenan,
tidak meminta
pertolongan dan
ucapan juga tiada.
Baginya setiap sesuatu
adalah ilmu dan setiap
ilmu adalah zikir. Inilah
hamba yang telah
benar-benar berjaya
menghimpun semua
makam dan martabat.
Dia sudah melihat
takdir-takdir dan
melihat bagaimana
Allah s.w.t menghalau
takdir demi takdir dan
melihat bagaimana
Allah s.w.t mengulangi
takdir-takdir itu dengan
berbagai-bagai cara
yang dikehendaki-Nya
kerana sesungguhnya
Allah s.w.t sahaja yang
memulakan penciptaan
dan Dia juga yang
mengulanginya.
Penglihatannya tidak
berbolak-balik lagi. Dia
melihat Allah s.w.t di
hadapan dan di
belakang apa yang
dilihatnya dan melihat
Allah s.w.t dalam
segala yang dilihatnya.
Apabila kerinduan
terhadap Allah s.w.t
telah menguasai hati
seseorang hingga
kepada tahap tiada
ucapan yang boleh
diucapkan maka
keadaan itu dikatakan
melihat Allah s.w.t
yang tiada sesuatu yang
menyamai-Nya,
sebagaimana firman-
Nya:
Tiada sesuatupun yang
sebanding dengan (Zat-
Nya, sifat-sifat-Nya,
dan pentadbiran)-Nya,
dan Dia jualah Yang
Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. ( Ayat
11 : Surah asy-Syura )

komisi gratis

Rekan rekan ada yang
mau bisnis dengan modal
100% gratis,tanpa resiko.
bahkan anda mendapat
kan komisi sampai
Rp.277.777.750. ini
merupakan bisnis
spektakuler pertama di
indonesia. keputusan anda
saat ini akan menentukan
nasib anda diwaktu
mendatang, anda
bergabung berarti anda
punya kesempatan tapi
kalau tidak anda termasuk
orang yang rugi, cermati
dan lakukan. kalo begitu
langsung saja klik dilink
berikut ini untuk
mempelajarinya sekaligus
mendaftarkan diri fngan cara. klik here

kata mutiara

Abu laits berkata: barangg
sìapa berteman dengan
orang kaya maka Allah
akan memberikan
kepadanya rasa cinta
duniawi, brg siapa yang
berteman dengan orang
fakir maka Allah akan
menambahkan pdnya rasa
syukur & ridho atas
pemberiaNya, brg siapa
yang berteman dengan
penguasa mak Allah akan
menambahkan kepadanya
pengikut, barang siapa
yang berteman dengan
perempuan maka Allah
akan menambahkan
padanya kebodohan &
syahwat, barang siapa
yang berteman dengan
anak kecil maka maka
Allah akan menambahkan
padanya suka bermain &
bergurau, brg siapa yang
berteman dengan orang
fasik maka Allah akan
menambahkan kepadanya
rasa berani berbuat dosa
& mengulur ulur taubat,
barang siapa yg berteman
dengan orang shaleh
maka Allah
menambahkan pdnya
suka taat, & brg siapa
yang b ’tmn dgn ulama
maka Allah akan
menambahkanya ilmu,
dan wira ’i.

kata mutiara

Abu laits berkata: barangg
sìapa berteman dengan
orang kaya maka Allah
akan memberikan
kepadanya rasa cinta
duniawi, brg siapa yang
berteman dengan orang
fakir maka Allah akan
menambahkan pdnya rasa
syukur & ridho atas
pemberiaNya, brg siapa
yang berteman dengan
penguasa mak Allah akan
menambahkan kepadanya
pengikut, barang siapa
yang berteman dengan
perempuan maka Allah
akan menambahkan
padanya kebodohan &
syahwat, barang siapa
yang berteman dengan
anak kecil maka maka
Allah akan menambahkan
padanya suka bermain &
bergurau, brg siapa yang
berteman dengan orang
fasik maka Allah akan
menambahkan kepadanya
rasa berani berbuat dosa
& mengulur ulur taubat,
barang siapa yg berteman
dengan orang shaleh
maka Allah
menambahkan pdnya
suka taat, & brg siapa
yang b ’tmn dgn ulama
maka Allah akan
menambahkanya ilmu,
dan wira ’i.

Jumat, 15 Oktober 2010

Mampir ngombe

Ada keinginan alamiah
manusia untuk
menghindari penderitaan.
Tetapi justru penderitaan
itu merupakan bagian
yang terkandung di dalam
kemanusiaannya.
Orang harus memburu-
buru berlelah di bawah
matahari untuk
mendapatkan apa yang
diingininya, makan rezeki
yang diperoleh dengan
susah payah. Namun itu
pun juga tidak
melepaskan penderitaan
yang dialaminya.
Di dalam keterbatasan
untuk menikmati
usahanya, ternyata pun
yang dijumpai adalah
kesia-siaan, “Segala
sesuatu menjemukan,
sehingga tak terkatakan
oleh manusia; mata tidak
kenyang melihat, telingat
tidak puas mendengar.
Apa yang pernah ada aka
nada lagi, dan apa yang
pernah dibuat akan dibuat
lagi; tidak ada sesuatu
yang baru di bawah
matahari. “
Ada prasangka yang salah
di dalam keterbatasan
manusia untuk mengatasi
penderitaan, bahwa
dengan kecepatan,
kekuatan, kemakmuran,
kecerdasan, dan
kecerdikan niscaya
penderitaan akan diatasi
dengan sempurna. Tetapi
di bagian lain di dalam
Kitab Alkatib, Raja
Sulaiman mengungkapkan
sebuah kata-kata hikmat,
“ Lagi aku melihat di
bawah matahari bahwa
kemenangan perlombaan
bukan untuk yang cepat,
dan keunggulan
perjuangan bukan untuk
yang kuat, juga roti bukan
untuk yang berhikmat,
kekayaan bukan untuk
yang cerdas, dan karunia
bukan untuk yang cerdik
cendekia, karena waktu
dan nasib dialami mereka
semua. Karena manusia
tidak mengetahui
waktunya. Seperti ikan
yang tertangkap dalam
jala yang mencelakakan,
dan seperti burung yang
tertangkap dalam jerat,
begitulah anak-anak
manusia terjerat pada
waktu yang malang, kalau
hal itu menimpa mereka
secara tiba-tiba. ”
Pertanyaan yang paling
tepat bukan untuk
mengakhiri penderitaan,
tetapi bagaimana
menikmati penderitaan.
Penderitaan itu ada, dan
kehidupan ini seperti
sebuah siklus mengalami
penderitaan dan
kesukaran; jadi bagaimana
saya menemukan sukacita
di dalam penderitaan dan
kesukaran yang sedang
dihadapi?
“ Masa hidup kami tujuh
puluh tahun dan jika kami
kuat, delapan puluh
tahun, dan
kebanggaannya adalah
kesukaran dan
penderitaan, ” demikianlah
doa Musa, abdi Allah di
dalam mazmurnya.
Seorang Musa akhirnya
pun menyadari bahwa
kebanggaan (hidupnya) -
nya adalah kesukaran dan
penderitaan. Sehingga
lahir sebuah doa kepada
Allah, “Kenyangkanlah
kami di waktu pagi
dengan kasih setia-Mu,
supaya kami bersorak-
sorai dan bersukacita
semasa hari-hari kami. ”
Kebanggaan itu muncul
karena bagaimana Allah
campur tangan di dalam
setiap kesukaran dan
penderitaan yang
dihadapinya; bahkan
dimampukan menjalani
setiap kesukaran dan
penderitaan dengan
sorak-sorai dan sukacita.
Bersama dengan Allah, di
dalam kesukaran dan
penderitaan ada sorak-
sorai dan sukacita. Tidak
ada kenangan yang lebih
melekat, ketika kita
mengalami kesukaran dan
penderitaan. Dan tidak
ada kenangan yang lebih
melekat dan
membanggakan ketika di
dalam kesukaran dan
penderitaan itu ada Allah
yang beserta.
Sehingga semakin
bermakna doa yang kita
panjatkan, ketika kita
berseru, “Ajarlah kami
menghitung hari-hari
kami sedemikian, hingga
kami beroleh hati yang
bijaksana. ” Justru di dalam
kesukaran dan
penderitaan itu kita
mengalami Allah dan
semakin berhikmat di
dalam kehidupan kita.
***
Kematian adalah finalitas
penderitaan di bawah
matahari ini.
Keberanian menghadapi
kematian (baca:
penderitaan) adalah
sebuah anugrah. Anugrah
itu memampukan kita
untuk menghargai
kehidupan ini yang penuh
dengan kesukaran dan
penderitaan. Bahwa
kehidupan ini patut
dirayakan.
Pepatah orang Jawa,
bahwa hidup ini adalah
“ mung mampir ngombe”,
merupakan wujud sebuah
kepastian akan
kesementaraan hidup
dunia ini dibandingkan
kehidupan setelah
kematian itu sendiri di
dalam kekekalan.
Ada sebuah pergulatan
yang seru untuk
menghidupi
kesementaraan ini di
dalam perspektif kesia-
siaan (seperti yang
disaksikan oleh Sulaiman)
atau di dalam perspektif
anugrah (seperti yang
diungkapkan oleh Musa).
Di dalam perspekif kesia-
siaan, tidak ada yang
terluput satu orang pun
di bawah matahari ini
untuk menghindari
penderitaan dan
kesukaran, kita semua
akan mengalaminya.
Namun, ada cara baru di
dalam menghadapi hal
tersebut melalui anugrah
Allah yang cukup di
dalam ketidakberdayaan
hidup kita, “sehingga kita
pun bersorak-sorai dan
bersukacita semasa hari-
hari kami ”.
Itulah anugrah. Dan
adalah tawaran istimewa
bagi kita semua untuk
menjalani kehidupan ini
sebagai sebuah perjalanan
untuk mengalami
anugrah demi anugrah
Nya di dalam menghadapi
setiap kesukaran dan
penderitaan yang ada.
Di dalam kuasa anugrah
dan kebenaran Nya,
sebenarnya rumah kita
yang sejati bukanlah di
dunia ini (yang hanya
mung mampir ngombe),
tetapi di dalam kekekalan
bersama dengan Allah,
dimana tidak ada
penderitaan, kesukaran,
kesedihan dan air mata,
karena semuanya diganti
dengan sorak sorai,
sukacita, dan kebahagiaan
yang sejati di dalam Dia.

Mampir ngombe

Ada keinginan alamiah
manusia untuk
menghindari penderitaan.
Tetapi justru penderitaan
itu merupakan bagian
yang terkandung di dalam
kemanusiaannya.
Orang harus memburu-
buru berlelah di bawah
matahari untuk
mendapatkan apa yang
diingininya, makan rezeki
yang diperoleh dengan
susah payah. Namun itu
pun juga tidak
melepaskan penderitaan
yang dialaminya.
Di dalam keterbatasan
untuk menikmati
usahanya, ternyata pun
yang dijumpai adalah
kesia-siaan, “Segala
sesuatu menjemukan,
sehingga tak terkatakan
oleh manusia; mata tidak
kenyang melihat, telingat
tidak puas mendengar.
Apa yang pernah ada aka
nada lagi, dan apa yang
pernah dibuat akan dibuat
lagi; tidak ada sesuatu
yang baru di bawah
matahari. “
Ada prasangka yang salah
di dalam keterbatasan
manusia untuk mengatasi
penderitaan, bahwa
dengan kecepatan,
kekuatan, kemakmuran,
kecerdasan, dan
kecerdikan niscaya
penderitaan akan diatasi
dengan sempurna. Tetapi
di bagian lain di dalam
Kitab Alkatib, Raja
Sulaiman mengungkapkan
sebuah kata-kata hikmat,
“ Lagi aku melihat di
bawah matahari bahwa
kemenangan perlombaan
bukan untuk yang cepat,
dan keunggulan
perjuangan bukan untuk
yang kuat, juga roti bukan
untuk yang berhikmat,
kekayaan bukan untuk
yang cerdas, dan karunia
bukan untuk yang cerdik
cendekia, karena waktu
dan nasib dialami mereka
semua. Karena manusia
tidak mengetahui
waktunya. Seperti ikan
yang tertangkap dalam
jala yang mencelakakan,
dan seperti burung yang
tertangkap dalam jerat,
begitulah anak-anak
manusia terjerat pada
waktu yang malang, kalau
hal itu menimpa mereka
secara tiba-tiba. ”
Pertanyaan yang paling
tepat bukan untuk
mengakhiri penderitaan,
tetapi bagaimana
menikmati penderitaan.
Penderitaan itu ada, dan
kehidupan ini seperti
sebuah siklus mengalami
penderitaan dan
kesukaran; jadi bagaimana
saya menemukan sukacita
di dalam penderitaan dan
kesukaran yang sedang
dihadapi?
“ Masa hidup kami tujuh
puluh tahun dan jika kami
kuat, delapan puluh
tahun, dan
kebanggaannya adalah
kesukaran dan
penderitaan, ” demikianlah
doa Musa, abdi Allah di
dalam mazmurnya.
Seorang Musa akhirnya
pun menyadari bahwa
kebanggaan (hidupnya) -
nya adalah kesukaran dan
penderitaan. Sehingga
lahir sebuah doa kepada
Allah, “Kenyangkanlah
kami di waktu pagi
dengan kasih setia-Mu,
supaya kami bersorak-
sorai dan bersukacita
semasa hari-hari kami. ”
Kebanggaan itu muncul
karena bagaimana Allah
campur tangan di dalam
setiap kesukaran dan
penderitaan yang
dihadapinya; bahkan
dimampukan menjalani
setiap kesukaran dan
penderitaan dengan
sorak-sorai dan sukacita.
Bersama dengan Allah, di
dalam kesukaran dan
penderitaan ada sorak-
sorai dan sukacita. Tidak
ada kenangan yang lebih
melekat, ketika kita
mengalami kesukaran dan
penderitaan. Dan tidak
ada kenangan yang lebih
melekat dan
membanggakan ketika di
dalam kesukaran dan
penderitaan itu ada Allah
yang beserta.
Sehingga semakin
bermakna doa yang kita
panjatkan, ketika kita
berseru, “Ajarlah kami
menghitung hari-hari
kami sedemikian, hingga
kami beroleh hati yang
bijaksana. ” Justru di dalam
kesukaran dan
penderitaan itu kita
mengalami Allah dan
semakin berhikmat di
dalam kehidupan kita.
***
Kematian adalah finalitas
penderitaan di bawah
matahari ini.
Keberanian menghadapi
kematian (baca:
penderitaan) adalah
sebuah anugrah. Anugrah
itu memampukan kita
untuk menghargai
kehidupan ini yang penuh
dengan kesukaran dan
penderitaan. Bahwa
kehidupan ini patut
dirayakan.
Pepatah orang Jawa,
bahwa hidup ini adalah
“ mung mampir ngombe”,
merupakan wujud sebuah
kepastian akan
kesementaraan hidup
dunia ini dibandingkan
kehidupan setelah
kematian itu sendiri di
dalam kekekalan.
Ada sebuah pergulatan
yang seru untuk
menghidupi
kesementaraan ini di
dalam perspektif kesia-
siaan (seperti yang
disaksikan oleh Sulaiman)
atau di dalam perspektif
anugrah (seperti yang
diungkapkan oleh Musa).
Di dalam perspekif kesia-
siaan, tidak ada yang
terluput satu orang pun
di bawah matahari ini
untuk menghindari
penderitaan dan
kesukaran, kita semua
akan mengalaminya.
Namun, ada cara baru di
dalam menghadapi hal
tersebut melalui anugrah
Allah yang cukup di
dalam ketidakberdayaan
hidup kita, “sehingga kita
pun bersorak-sorai dan
bersukacita semasa hari-
hari kami ”.
Itulah anugrah. Dan
adalah tawaran istimewa
bagi kita semua untuk
menjalani kehidupan ini
sebagai sebuah perjalanan
untuk mengalami
anugrah demi anugrah
Nya di dalam menghadapi
setiap kesukaran dan
penderitaan yang ada.
Di dalam kuasa anugrah
dan kebenaran Nya,
sebenarnya rumah kita
yang sejati bukanlah di
dunia ini (yang hanya
mung mampir ngombe),
tetapi di dalam kekekalan
bersama dengan Allah,
dimana tidak ada
penderitaan, kesukaran,
kesedihan dan air mata,
karena semuanya diganti
dengan sorak sorai,
sukacita, dan kebahagiaan
yang sejati di dalam Dia.