Jumat, 15 Oktober 2010

Mampir ngombe

Ada keinginan alamiah
manusia untuk
menghindari penderitaan.
Tetapi justru penderitaan
itu merupakan bagian
yang terkandung di dalam
kemanusiaannya.
Orang harus memburu-
buru berlelah di bawah
matahari untuk
mendapatkan apa yang
diingininya, makan rezeki
yang diperoleh dengan
susah payah. Namun itu
pun juga tidak
melepaskan penderitaan
yang dialaminya.
Di dalam keterbatasan
untuk menikmati
usahanya, ternyata pun
yang dijumpai adalah
kesia-siaan, “Segala
sesuatu menjemukan,
sehingga tak terkatakan
oleh manusia; mata tidak
kenyang melihat, telingat
tidak puas mendengar.
Apa yang pernah ada aka
nada lagi, dan apa yang
pernah dibuat akan dibuat
lagi; tidak ada sesuatu
yang baru di bawah
matahari. “
Ada prasangka yang salah
di dalam keterbatasan
manusia untuk mengatasi
penderitaan, bahwa
dengan kecepatan,
kekuatan, kemakmuran,
kecerdasan, dan
kecerdikan niscaya
penderitaan akan diatasi
dengan sempurna. Tetapi
di bagian lain di dalam
Kitab Alkatib, Raja
Sulaiman mengungkapkan
sebuah kata-kata hikmat,
“ Lagi aku melihat di
bawah matahari bahwa
kemenangan perlombaan
bukan untuk yang cepat,
dan keunggulan
perjuangan bukan untuk
yang kuat, juga roti bukan
untuk yang berhikmat,
kekayaan bukan untuk
yang cerdas, dan karunia
bukan untuk yang cerdik
cendekia, karena waktu
dan nasib dialami mereka
semua. Karena manusia
tidak mengetahui
waktunya. Seperti ikan
yang tertangkap dalam
jala yang mencelakakan,
dan seperti burung yang
tertangkap dalam jerat,
begitulah anak-anak
manusia terjerat pada
waktu yang malang, kalau
hal itu menimpa mereka
secara tiba-tiba. ”
Pertanyaan yang paling
tepat bukan untuk
mengakhiri penderitaan,
tetapi bagaimana
menikmati penderitaan.
Penderitaan itu ada, dan
kehidupan ini seperti
sebuah siklus mengalami
penderitaan dan
kesukaran; jadi bagaimana
saya menemukan sukacita
di dalam penderitaan dan
kesukaran yang sedang
dihadapi?
“ Masa hidup kami tujuh
puluh tahun dan jika kami
kuat, delapan puluh
tahun, dan
kebanggaannya adalah
kesukaran dan
penderitaan, ” demikianlah
doa Musa, abdi Allah di
dalam mazmurnya.
Seorang Musa akhirnya
pun menyadari bahwa
kebanggaan (hidupnya) -
nya adalah kesukaran dan
penderitaan. Sehingga
lahir sebuah doa kepada
Allah, “Kenyangkanlah
kami di waktu pagi
dengan kasih setia-Mu,
supaya kami bersorak-
sorai dan bersukacita
semasa hari-hari kami. ”
Kebanggaan itu muncul
karena bagaimana Allah
campur tangan di dalam
setiap kesukaran dan
penderitaan yang
dihadapinya; bahkan
dimampukan menjalani
setiap kesukaran dan
penderitaan dengan
sorak-sorai dan sukacita.
Bersama dengan Allah, di
dalam kesukaran dan
penderitaan ada sorak-
sorai dan sukacita. Tidak
ada kenangan yang lebih
melekat, ketika kita
mengalami kesukaran dan
penderitaan. Dan tidak
ada kenangan yang lebih
melekat dan
membanggakan ketika di
dalam kesukaran dan
penderitaan itu ada Allah
yang beserta.
Sehingga semakin
bermakna doa yang kita
panjatkan, ketika kita
berseru, “Ajarlah kami
menghitung hari-hari
kami sedemikian, hingga
kami beroleh hati yang
bijaksana. ” Justru di dalam
kesukaran dan
penderitaan itu kita
mengalami Allah dan
semakin berhikmat di
dalam kehidupan kita.
***
Kematian adalah finalitas
penderitaan di bawah
matahari ini.
Keberanian menghadapi
kematian (baca:
penderitaan) adalah
sebuah anugrah. Anugrah
itu memampukan kita
untuk menghargai
kehidupan ini yang penuh
dengan kesukaran dan
penderitaan. Bahwa
kehidupan ini patut
dirayakan.
Pepatah orang Jawa,
bahwa hidup ini adalah
“ mung mampir ngombe”,
merupakan wujud sebuah
kepastian akan
kesementaraan hidup
dunia ini dibandingkan
kehidupan setelah
kematian itu sendiri di
dalam kekekalan.
Ada sebuah pergulatan
yang seru untuk
menghidupi
kesementaraan ini di
dalam perspektif kesia-
siaan (seperti yang
disaksikan oleh Sulaiman)
atau di dalam perspektif
anugrah (seperti yang
diungkapkan oleh Musa).
Di dalam perspekif kesia-
siaan, tidak ada yang
terluput satu orang pun
di bawah matahari ini
untuk menghindari
penderitaan dan
kesukaran, kita semua
akan mengalaminya.
Namun, ada cara baru di
dalam menghadapi hal
tersebut melalui anugrah
Allah yang cukup di
dalam ketidakberdayaan
hidup kita, “sehingga kita
pun bersorak-sorai dan
bersukacita semasa hari-
hari kami ”.
Itulah anugrah. Dan
adalah tawaran istimewa
bagi kita semua untuk
menjalani kehidupan ini
sebagai sebuah perjalanan
untuk mengalami
anugrah demi anugrah
Nya di dalam menghadapi
setiap kesukaran dan
penderitaan yang ada.
Di dalam kuasa anugrah
dan kebenaran Nya,
sebenarnya rumah kita
yang sejati bukanlah di
dunia ini (yang hanya
mung mampir ngombe),
tetapi di dalam kekekalan
bersama dengan Allah,
dimana tidak ada
penderitaan, kesukaran,
kesedihan dan air mata,
karena semuanya diganti
dengan sorak sorai,
sukacita, dan kebahagiaan
yang sejati di dalam Dia.

Mampir ngombe

Ada keinginan alamiah
manusia untuk
menghindari penderitaan.
Tetapi justru penderitaan
itu merupakan bagian
yang terkandung di dalam
kemanusiaannya.
Orang harus memburu-
buru berlelah di bawah
matahari untuk
mendapatkan apa yang
diingininya, makan rezeki
yang diperoleh dengan
susah payah. Namun itu
pun juga tidak
melepaskan penderitaan
yang dialaminya.
Di dalam keterbatasan
untuk menikmati
usahanya, ternyata pun
yang dijumpai adalah
kesia-siaan, “Segala
sesuatu menjemukan,
sehingga tak terkatakan
oleh manusia; mata tidak
kenyang melihat, telingat
tidak puas mendengar.
Apa yang pernah ada aka
nada lagi, dan apa yang
pernah dibuat akan dibuat
lagi; tidak ada sesuatu
yang baru di bawah
matahari. “
Ada prasangka yang salah
di dalam keterbatasan
manusia untuk mengatasi
penderitaan, bahwa
dengan kecepatan,
kekuatan, kemakmuran,
kecerdasan, dan
kecerdikan niscaya
penderitaan akan diatasi
dengan sempurna. Tetapi
di bagian lain di dalam
Kitab Alkatib, Raja
Sulaiman mengungkapkan
sebuah kata-kata hikmat,
“ Lagi aku melihat di
bawah matahari bahwa
kemenangan perlombaan
bukan untuk yang cepat,
dan keunggulan
perjuangan bukan untuk
yang kuat, juga roti bukan
untuk yang berhikmat,
kekayaan bukan untuk
yang cerdas, dan karunia
bukan untuk yang cerdik
cendekia, karena waktu
dan nasib dialami mereka
semua. Karena manusia
tidak mengetahui
waktunya. Seperti ikan
yang tertangkap dalam
jala yang mencelakakan,
dan seperti burung yang
tertangkap dalam jerat,
begitulah anak-anak
manusia terjerat pada
waktu yang malang, kalau
hal itu menimpa mereka
secara tiba-tiba. ”
Pertanyaan yang paling
tepat bukan untuk
mengakhiri penderitaan,
tetapi bagaimana
menikmati penderitaan.
Penderitaan itu ada, dan
kehidupan ini seperti
sebuah siklus mengalami
penderitaan dan
kesukaran; jadi bagaimana
saya menemukan sukacita
di dalam penderitaan dan
kesukaran yang sedang
dihadapi?
“ Masa hidup kami tujuh
puluh tahun dan jika kami
kuat, delapan puluh
tahun, dan
kebanggaannya adalah
kesukaran dan
penderitaan, ” demikianlah
doa Musa, abdi Allah di
dalam mazmurnya.
Seorang Musa akhirnya
pun menyadari bahwa
kebanggaan (hidupnya) -
nya adalah kesukaran dan
penderitaan. Sehingga
lahir sebuah doa kepada
Allah, “Kenyangkanlah
kami di waktu pagi
dengan kasih setia-Mu,
supaya kami bersorak-
sorai dan bersukacita
semasa hari-hari kami. ”
Kebanggaan itu muncul
karena bagaimana Allah
campur tangan di dalam
setiap kesukaran dan
penderitaan yang
dihadapinya; bahkan
dimampukan menjalani
setiap kesukaran dan
penderitaan dengan
sorak-sorai dan sukacita.
Bersama dengan Allah, di
dalam kesukaran dan
penderitaan ada sorak-
sorai dan sukacita. Tidak
ada kenangan yang lebih
melekat, ketika kita
mengalami kesukaran dan
penderitaan. Dan tidak
ada kenangan yang lebih
melekat dan
membanggakan ketika di
dalam kesukaran dan
penderitaan itu ada Allah
yang beserta.
Sehingga semakin
bermakna doa yang kita
panjatkan, ketika kita
berseru, “Ajarlah kami
menghitung hari-hari
kami sedemikian, hingga
kami beroleh hati yang
bijaksana. ” Justru di dalam
kesukaran dan
penderitaan itu kita
mengalami Allah dan
semakin berhikmat di
dalam kehidupan kita.
***
Kematian adalah finalitas
penderitaan di bawah
matahari ini.
Keberanian menghadapi
kematian (baca:
penderitaan) adalah
sebuah anugrah. Anugrah
itu memampukan kita
untuk menghargai
kehidupan ini yang penuh
dengan kesukaran dan
penderitaan. Bahwa
kehidupan ini patut
dirayakan.
Pepatah orang Jawa,
bahwa hidup ini adalah
“ mung mampir ngombe”,
merupakan wujud sebuah
kepastian akan
kesementaraan hidup
dunia ini dibandingkan
kehidupan setelah
kematian itu sendiri di
dalam kekekalan.
Ada sebuah pergulatan
yang seru untuk
menghidupi
kesementaraan ini di
dalam perspektif kesia-
siaan (seperti yang
disaksikan oleh Sulaiman)
atau di dalam perspektif
anugrah (seperti yang
diungkapkan oleh Musa).
Di dalam perspekif kesia-
siaan, tidak ada yang
terluput satu orang pun
di bawah matahari ini
untuk menghindari
penderitaan dan
kesukaran, kita semua
akan mengalaminya.
Namun, ada cara baru di
dalam menghadapi hal
tersebut melalui anugrah
Allah yang cukup di
dalam ketidakberdayaan
hidup kita, “sehingga kita
pun bersorak-sorai dan
bersukacita semasa hari-
hari kami ”.
Itulah anugrah. Dan
adalah tawaran istimewa
bagi kita semua untuk
menjalani kehidupan ini
sebagai sebuah perjalanan
untuk mengalami
anugrah demi anugrah
Nya di dalam menghadapi
setiap kesukaran dan
penderitaan yang ada.
Di dalam kuasa anugrah
dan kebenaran Nya,
sebenarnya rumah kita
yang sejati bukanlah di
dunia ini (yang hanya
mung mampir ngombe),
tetapi di dalam kekekalan
bersama dengan Allah,
dimana tidak ada
penderitaan, kesukaran,
kesedihan dan air mata,
karena semuanya diganti
dengan sorak sorai,
sukacita, dan kebahagiaan
yang sejati di dalam Dia.